Sungaiyang mengandung siput air dan planaria menunjukkan sungai tersebut belum mengalami pencemaran. Sebaliknya, cacing Tubifex (cacing merah) merupakan cacing yang tahan hidup dan bahkan berkembang baik di lingkungan yang kaya bahan organik, meskipun spesies hewan yang lain telah mati. Merdeka.com - Holding Pertambangan, MIND ID mendukung penuh pemerintah dalam membentuk Satuan Tugas Nasional Penanggulangan Penambangan Tanpa Izin. Langkah ini diharapkan bisa mempercepat pemberantasan pertambangan ilegal di Indonesia. Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID, Dany Amrul Ichdan mengatakan, kegiatan pertambangan ilegal terjadi di dua wilayah operasional PT Antam Tbk Airsungai yang tercemar dapat menimbulkan berbagai macam penyakit bagi warga sekitar. Sementara itu akibat pencemaran sungai dilihat dari estetika lingkungan bisa diamati secara kasat mata. Sungai yang tidak sehat tentu terlihat memprihatinkan dan tidak elok utnuk dipandang, padahal salah satu fungsi sungai adalah sebagai sarana rekreari manusia. Pencemaranair permukaan tentu menjadi permasalahan besar mengingat manfaatnya di berbagai lini kepentingan. Air Sungai Air sungai merupakan air yang bersumber dari mata air dan air hujan yang mengalir pada permukaan tanah yang memiliki elevasi lebih tinggi dari sungai. Kualitas air sungai dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar aliran sungai. BOJONEGORO Hampir dua pekan terakhir air Sungai Bengawan Solo di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, mengalami penurunan kualitas akibat tercemar zat kimia amonia. Pencemaran tersebut membuat air Sungai Bengawan Solo berubah warna dan sudah tidak layak dikonsumsi untuk kebutuhan minum dan mandi masyarakat sekitar. Pihaknyamengaku melakukan pemantauan tiap tahun terakhir ada 79 titik pemantauan di 13 sungai yang dialokasikan dari APBD, dan 5 sungai APBN. Pencemaran SPH di Indonesia tidak hanya terdeteksi pada perairan, tetapi juga pada sedimen atau dasar perairan dan biota air. Jawa Tengah sebanyak 204 dari 600 petani bawang perempuan mengalami G5tAd5c. Jakarta Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci Tanjung mengatakan, permasalahan sampah di sungai Jakarta hingga sekarang masih menjadi momok menakutkan. Bahkan, rata-rata sungai di Jakarta tercemar dari fase sedang dan berat. 3 NGO Beri Kesaksian Meringankan untuk Haris Azhar dan Fatia Terkait Laporan Luhut Polusi Udara RI Tertinggi di Asia Tenggara, WALHI Akibat Emisi Kendaraan hingga Batu Bara Fungsi Resapan Air Berkurang, Walhi Minta Laju Peluasan Industri di Puncak Bogor Dihentikan "Kalau kita mau lihat kondisi situasi sungai di Jakarta, hari ini memang data terakhir dari Dinas Lingkungan Hidup Jakarta yang melalukan uji coba 120 titik sungai di Jakarta itu keseluruhannya ada di fase pencemaran sedang dan berat," kata dia dalam jumpa pers secara daring, Selasa 12/4/2022 Menurut Suci, data 2014 menunjukkan masih ada 1% bagian sungai yang ditemukan dengan level pencemaran ringan. Artinya, terjadi peningkatan signifikan dalam level pencemaran sehingga saat ini level pencemaran sungai saat ini sudah masuk dalam fase tercemar berat hingga 100%. Hal inilah membuat kondisi kesehatan warga di Jakarta perlu dicurigai apakah mengalami gangguan juga atau tidak. "Tercemarnya seperti apa? ditemukan ecoli tinja dan logam berat yang mengkontaminasi ikan-ikan di Jakarta, apalagi kalau kita lihat konsumsi ikan sapu-sapu cukup tinggi bahkan masuk industri pangan kecil. Akhirnya kondisi kesehatan manusia juga patut kita curiga terganggu," jelas dia. Suci melanjutkan, WALHI Jakarta juga menemukan temuan sampah mikroplastik yang berasal dari berbagai sumber. Dia merinci, sebesar 72,7% berasal dari limbah domestik atau yang berasal dari pemukiman. Kemudian 17,3% limbah perkantoran, dan 9,9% berasal dari limbah industri. "Tapi saya menyaksikan limbah industri ini hanya 9,9% karena Dinas Lingkungan Hidup ini mengakui bahwa limbah cair dari industri ini tidak terinventarisasi dan artinya angka ini bisa lebih tinggi," kata dia. Jumat 5/1 pagi banjir merendam ratusan rumah di kawasan Kebon Pala Kampung Melayu Jakarta Timur. Banjir dipicu meluapnya sungai Fungsi EkonomiSuci melihat, fungsi ekonomi yang dimanfaatkan dari sungai oleh para pelaku industri saat ini jumlahnya tidak sedikit. Karenanya, masih sangat mungkin adanya temuan dari sampah dari sektor industri yang lebih tinggi lagi. Adapun menurut dia, ini bukan saja dari pelaku industri yang besar, baik yang kecil pun berpotensi untuk mencemari sungai. "Jadi kalau kita mau lihat di berbagai level, mikro hingga menengah mungkin juga teridentifikasi limbah industri pada skala besar yang lebih besar," urai Suci. Suci mendorong, temuan dari paparannya hari ini dapat membangun daya kritis masyarakat untuk mengawal program bersih sampah dari sungai yang sudah berjalan. Masyarakat diminta juga untuk tidak acuh tak acuh dari kehidupan sekelilingnya. Sebab, masyarakat mempunyai hak untuk kualitas hidup yang lebih baik dan itu dijamin oleh pemerintah, khususnya Pemprov DKI. "Bahwa pemenuhan hak masyarakat untuk kualitas hidup sehat harus dijamin pemerintah, khususnya Pemprov dalam hal ini Gubernur DKI," kata Suci. Buang Limbah SembaranganDiketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP menyegel Unit Pengolahan Ikan CV IP di Muara Baru, Jakarta Utara. KKP menyegel unit pengolahan ikan ini karena terindikasi mencemari lingkungan. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Laksamana Muda TNI Adin Nurwaluddin menjelaskan, dari hasil pengawasan, CV IP melanggar ketentuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2021 terkait dengan kewajiban memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah IPAL bagi Usaha Pengolahan yang telah memiliki Surat Kelayakan Pengolahan SKP. “Hasil pemeriksaan kami, usaha pengolahan ikan tersebut tidak memiliki IPAL dan limbah dari kegiatan pengolahan ikan langsung dibuang ke saluran air, sehingga berpotensi mencemari lingkungan,” ujar Adin dalam keterangan tertulis, Senin 11/4/2022. Berdasarkan skala usaha yang dimiliki, IPAL tersebut seyogyanya merupakan konsekuensi terbitnya Sertifikat Kelayakan Pengolahan SKP. Dengan tidak adanya IPAL maka UPI tersebut sangat rentan menyebabkan pencemaran. “Seharusnya berdasarkan skala usahanya, UPI tersebut harus memiliki sistem dan teknologi pengolahan limbah yang baik, tidak dibuang sembarangan seperti ini,” ungkap Adin. Bentuk PaksaanDirektur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan, Drama Panca Putra menyampaikan bahwa penghentian sementara yang dilakukan oleh aparat Pengawas Perikanan ini merupakan bentuk paksaan pemerintah untuk menghentikan dampak pencemaran. Drama juga memastikan bahwa Pengawas Perikanan akan melakukan pendalaman lebih lanjut untuk menangani permasalahan ini. “Kami sudah agendakan pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan pihak-pihak terkait lainnya,” tegas Drama. Untuk diketahui, Komisi IV DPR RI bersama jajaran KKP dan KLHK melaksanakan inspeksi mendadak sidak di sejumlah Unit Pengolahan Ikan di Muara Baru. Sidak tersebut dilaksanakan untuk merespon sejumlah pengaduan masyarakat terkait pencemaran di wilayah Muara Baru. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono telah menegaskan agar pelaksanaan kegiatan usaha perikanan harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan serta lingkungannya. Menteri Trenggono juga meminta jajaran Ditjen PSDKP untuk menindak tegas pelaku usaha yang melanggar ketentuan dan mengabaikan aspek lingkungan.* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. Intervensi manusia terhadap cara alam bekerja seringkali tidak solutif dan malah menyebabkan banyak masalah. Jika kita melihat ke belakang, bentuk intervensi manusia dalam menangani masalah pencemaran sungai di Jakarta sudah banyak dilakukan. Yang paling baru adalah penutupan Kali Item dengan kain waring yang disebut sebagai usaha untuk menanggulangi pencemaran dalam rangka menyambut Asian Games di Jakarta. Namun, apakah hal tersebut tepat dilakukan? Untuk memahami duduk perkara tersebut, perlu kita telusuri sejarah bentang alam dan perkembangan kota Jakarta serta usaha-usaha yang telah dilakukan dalam menangani masalah lingkungan termasuk pencemaran sungai di Jakarta. Fisiografi Jakarta Jakarta yang terletak di pesisir utara Jawa bagian Barat merupakan wilayah endapan yang berusia lebih dari tahun. Sejarawan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan telah menjelaskan bagaimana proses kerja alam telah mengakibatkan terbentuknya Jakarta sebagai dataran endapan akibat proses pengikisan di wilayah vulkanik selatan Bogor, Jawa Barat dan pengendapan sedimentasi yang memperlebar wilayah endapan sehingga menjadi lebih landai. Hal ini mengakibatkan pada waktu-waktu tertentu seperti pada puncak musim hujan, wilayah endapan secara periodik dilanda banjir. Hal ini mengakibatkan wilayah Jakarta rawan penyakit dan pencemaran. Dahulu masyarakat tinggal di dekat tanggul sungai dan pantai karena untuk menghindari banjir dan mengakses air bersih. Tapi seiring bertambahnya jumlah penduduk, sebaran pemukiman kini tidak hanya di tanggul tetapi juga di wilayah rendah dan rawa, yang notabene lebih rawan penyakit dan pencemaran. Perkampungan di wilayah barat Kali Angke yang polanya sejajar dengan garis pantai. Geografi Regional Indonesia, I Made Sandy, 1985 Perubahan sebaran kampung dan permukiman ini kemudian yang memunculkan masalah baru yaitu pencemaran sungai. Perkembangan Jakarta dan pencemaran sungai Perkembangan DKI Jakarta yang pesat sejak tahun 1960-an menyebabkan tingginya populasi Jakarta hingga kini mencapai lebih dari 10 juta jiwa. Meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas di kota Jakarta menuntut adanya pelayanan publik dasar yang baik untuk bisa menunjang kehidupan kota. Namun, ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan prasarana yang layak mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran sungai. Pemerintah DKI Jakarta memutuskan bahwa tujuh dari 19 sungai dan laut di Jakarta diperuntukkan untuk air baku air minum dan perikanan. Namun, lebih dari 90% air limbah domestik saat ini dibuang ke sungai dan laut atau bawah tanah melalui septic tank tanpa diolah. Penelitian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas juga menunjukkan bahwa 96% air perkotaan di Jakarta dalam kondisi tercemar berat. Tempuran Kali Krukut air berwarna cokelat dan Kali Mampang air berwarna hitam Sementara itu, laporan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT tentang pengelolaan air bersih dan limbah cair menunjukkan bahwa air limbah domestik dan air limbah perkantoran merupakan penyumbang terbesar terhadap pencemaran air di wilayah DKI Jakarta. Kesimpulannya, sanitasi memang merupakan faktor penting dalam masalah pencemaran air. Kondisi sanitasi Jakarta Firman Lubis, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga seorang penggiat sejarah Jakarta, dalam bukunya yang berjudul Jakarta 1950-1970 menceritakan dengan detail bagaimana kondisi sanitasi dan kebersihan Jakarta pada tahun 1950-an. Pada permulaan 1950-an, penyediaan air bersih di rumah-rumah mewah cukup baik, air leding berasal dari mata air di sekitar Batutulis, Bogor, Jawa Barat. Selain air leding, masyarakat khususnya yang tinggal di pemukiman elit hampir semuanya memiliki sumur. Di perkampungan, sumber air bersih pada umumnya dari sumur. Pada saat itu air sumur belum banyak terkontaminasi. Yang menjadi masalah adalah tempat buang air besar atau WC. Di perkampungan, orang biasanya buang air sembarangan, misalnya di kali, selokan, atau empang ikan. Keadaan ini membuat sanitasi lingkungan menjadi semakin buruk. Hasil survei kesehatan masyarakat pada 1957 menunjukkan kira-kira orang Jakarta hidup dalam kondisi sanitasi buruk atau sekitar 16% dari total populasi Jakarta pada saat itu. Salah satu daerah dengan kondisi sanitasi yang buruk ditemukan di Tanah Tinggi di Jakarta Pusat yang merupakan permukiman kumuh tertua di Jakarta. Namun lebih dari 50 tahun kemudian, riset dari Universitas Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan Tanah Tinggi masih memiliki sanitasi yang buruk. Hal ini dibuktikan dengan terbatasnya akses air bersih dan akses mandi cuci kakus MCK. Pada tahun 2013, wilayah bantaran rel kereta Tanah Tinggi-Kramat dengan estimasi penduduk jiwa hanya memiliki sembilan MCK umum yang dua di antaranya merupakan milik pemerintah hasil revitalisasi lingkungan kumuh yang didanai melalui Program Muhammad Husni Thamrin pada tahun 1960-an. Beberapa MCK bahkan tidak memiliki septic tank, dan pembuangan dialirkan langsung ke saluran air. MCK Umum Dahlia dibangun pada 1960-an dan menjadi salah satu MCK tertua di Tanah Tinggi. Skripsi Makna Fasilitas Umum bagi Pemukim di Sepanjang Rel Kereta Senen, Jakarta Pusat, Nadya Putri Utami, Universitas Indonesia, 2013 Sistem pipa pembuangan air limbah Jakarta Masalah sanitasi Jakarta sangat berkaitan erat dengan ketersediaan Instalasi Pengolahan Air Limbah IPAL baik IPAL sistem sederhana maupun IPAL sistem pipa terpusat. Perlu diketahui bahwa saat ini wilayah yang sudah terlayani sistem perpipaan di Jakarta baru meliputi kawasan bisnis di pusat Jakarta. Wilayah cakupan yang dikelola PD PAL Jaya ini hanya seluas hektar atau setara dengan 2,07% dari luas total wilayah DKI Jakarta. Selebihnya, pembuangan limbah masih dilakukan tanpa IPAL terpusat. Wilayah Cakupan Pelayanan Sistem Perpipaan PD PAL Jaya. Solusi yang pernah dicoba dan masalahnya Mengingat bahwa masalah infrastruktur sanitasi adalah permasalahan utama pencemaran sungai di Jakarta, beragam upaya sudah dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Untuk masalah sanitasi, pemerintah Jakarta sudah mencoba beberapa program seperti di antaranya Program Muhammad Husni Thamrin, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup RPPLH, Buku Putih Sanitasi BPS, Sanitasi Berbasis Masyarakat yang didukung oleh Islamic Development Bank, Rukun Warga RW Kumuh BPS dan Program Kota Tanpa Kumuh Kotaku. Namun hasil penelitian yang sedang dikerjakan salah satu dari kami menunjukkan program-program tersebut tidak efektif karena banyak yang tumpang tindih. Jika dihitung per jenis program, terdapat 162 kelurahan untuk program RPPLH, 162 kelurahan untuk Program Buku Putih Sanitasi, 29 kelurahan untuk Sanimas IDB, 156 kelurahan untuk Program RW Kumuh, serta 115 kelurahan kumuh untuk program Kotaku. Sebaran Jumlah Program Sanitasi per Kelurahan di DKI Jakarta. Sementara itu untuk masalah pipa pembuangan limbah, perusahaan investasi internasional dari Jepang JICA mengembangkan studi drainase dan proyek pembuangan air limbah pada tahun 1991. Namun, proyek ini dianggap tidak berhasil karena beberapa faktor. Salah satu penyebabnya adalah tidak sinkronnya rencana manajemen air limbah dengan perencanaan tata kota yang sudah ada. Perlu diketahui pula bahwa sistem perpipaan bukanlah proyek yang gampang, diperlukan biaya yang sangat mahal serta proses penanaman pipa di bawah tanah yang tidak mudah mengingat sudah banyaknya gedung-gedung tinggi di Jakarta. Setelah itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono sudah merencanakan proyek pembuangan air limbah Jakarta yang terbagi atas 14 zona berdasarkan kondisi geografis. Rencana pembangunan ini ditargetkan selesai pada tahun 2050 dengan perkiraan estimasi investasi mencapai lebih dari Rp 16 triliun untuk dua zona pada tahap 1. Proyek ini diharapkan dapat menambah cakupan luasan sistem perpipaan menjadi 20% dari total luas Jakarta. Namun, pelaksanaan proyek ini ditunda hingga 2019 atas permintaan BAPPENAS. Butuh solusi yang terpadu Masalah lingkungan tidak bisa diselesaikan secara parsial, apalagi secara instan. Diperlukan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah sehingga bisa memberikan alternatif baru dalam penyelesaian masalah lingkungan yang runyam ini. Misalnya daripada menunggu hingga 2050, sebetulnya kita bisa memulai dengan pembangunan IPAL sederhana atau IPAL komunal. Beberapa proyek yang bisa dijadikan contoh adalah IPAL komunal di Sleman, Yogyakarta dan Martapura, Kalimantan Selatan serta IPAL komunal Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur yang dikembangkan oleh masyarakat bersama dengan PD PAL Jaya. Jika kita kembali pada kasus Kali Item, pemerintah harus menelisik sumber masalah pencemaran sungai sebelum bersikap reaktif dengan solusi yang tidak berkelanjutan karena tidak menjawab akar permasalahan. Pembersihan sungai pada masa Ahok juga merupakan salah satu contoh pendekatan reaktif parsial. Meski dianggap berhasil dengan pembersihan sungainya, tetapi pendekatannya tidak berkelanjutan karena hanya sebatas membersihkan sungai di hilir dari sampah, tanpa menyelesaikan akar permasalahannya baik di hulu maupun hilir sungai. Dari identifikasi masalah di atas, seharusnya pemerintah memecahkan masalah utama yaitu perbaikan sistem pembuangan air limbah di Jakarta guna memperbaiki sanitasi sekaligus mengatasi pencemaran air. Kesadaran kolektif masyarakat, evaluasi dan pembenahan program-program pemerintah, serta kerja sama antar pemerintah daerah di hulu dan hilir sungai sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah pencemaran sungai yang selama ini ada. pada sungai yang belum mengalami pencemaran sering ditemukan siput air dan cacing planaria, Termasuk kelompok apakah kedua hewan tersebut? Pertanyaan baru di Fisika Seorang perenang dengan massa tubuh 50 kg menyelam di kolam dengan kedalaman air 2,5 m. Jika pada saat menyelam perenang tersebut berada pada ketingg … ian 130 cm dari dasar kolam, maka tekanan hidrostatis yang dialami oleh perenang tersebut sebesar .... massa jenis air = 1000 kg/m3, dan percepatan gravitasi bumi 10 N/kg 3. 2 a. Pascal b. Pascal c. Pascal d. Pascalkak minta tolong soalnya ini mau dikumpulin besok ​ ada caranya ya, makasih!​ 1. Sebuah pompa hidrolik diberi gaya 20 N pada penampang kecil. Perbandingan luas penampang permukaan yang kecil terhadap permukaan yang besar pa … da adalah 2 3. Maka berat beban yang dapat di angkat adalah ....​ Dua benda masing-masing massanya 3 kg. Besar gaya grafitasi adalah G= 6, N m²/kg, jika jarak antara kedua benda 0,03 m adalah....A. 7,2 X 10 N … ewtonB. 6,67 X 109 NewtonC. 66,7 X 10" NewtonD. 70,0 X 10 NewtonE. 73,0 X 10 Newton​ Berikut ini yang bukan merupakan besaran yang diturunkan dari besaran panjang dan waktu adalah .... A. kecepatan B. kelajuan C. volume D. percepatan​ Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pada saat zaman prasejarah, daerah pinggir sungai menjadi tempat peradaban. Sebab, masyarakat pada saat itu melakukan segala aktivitas di pinggir sungai. Karena daerah pinggir sungai terbilang subur, maka masyarakat pada saat itu melakukan aktivitas bercocok tanam, selain itu, sungai juga merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat pada masa itu. Namun, sekarang sungai tidak seperti dulu, saat ini banyak sungai yang sudah tercemar. Hal tersebut berdasarkan data Budan Pusat statistic BPS , sekitar 46 % sungai di Indonesia dalam keadaan status tercemar berat, 32% tercemar sedang berat. Lalu, 14% tercemar sedang dan 8 % tercemar Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia LIPI, pencemaran sungai disebabkan oleh berbagai faktor, yakni peningkatan pertumbuhan penduduk dan percepatan ekonomi yang akan berdampak pada perairan darat yakni sungai. Karena, adanya percepatan ekonomi, mengakibatkan tingkat komsumsi masyarakat tinggi akibatnya bisa jadi limbah rumah tangga tersebut bisa saja dibuang pada pinggir sungai maupun aliran sungai. Hal tersebut, juga tampak terlihat pada aliran sungai yang berada di Desa Banjararum Kec. Singosari dimana, banyak sekali sampah yang berasal dari limbah rumah tangga yang menumpuk dan berceceran di daerah bantaran sungai maupun di aliran sungai. dokpri " Menurut saya kesadaran masyarakat akan membuang sampah pada tempatnya kurang sekali, makanya banyak sampah yang menumpuk di pinggir sungai dan terlihat sangat kotor. Selain itu, minim kesadaran dalam peduli lingkungan juga. Ya.. seperti kurang kesadaran dalam membersihkan sungai yang dilakukan masyarakat sekitar ." ujar Alfi masyarakat sekitar. Berdasarkan pendapat yang diujarkan oleh masyarakat setempat, seharusnya, masyarakat sekitar berinisiatif untuk membersihkan daerah pinggir sungai yang tertumpuk dengan sampah, agar jumlah sampah di daerah pinggir tersebut semakin berkurang. Tidak hanya itu saja, seharusnya juga dilakukan upaya - upaya penghibauan agar masyarakat - masyarakat tidak membuang sampah di sungai misalnya, dengan memasang papan larangan dalam membuang sampah yang berisi sanksi - sanksi yang tegas berupa pidana dan denda maupun sanksi social. Hal tersebut agar masyarakat sekitar agar jera dan tidak membuang sampah ke sungai. Menerapkan tindakan hukum pidana bagi orang yang membuang sampah sembarangan terdapat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 29 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah dalam pasal 37 ayat 1 yang berisi bahwa " Setiap orang atau badan yang melakukan pelanggaran terhadap larangan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 20 diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 tiga bulan atau denda paling banyak Rp lima puluh juta rupiah "Selain itu, di pinggir sungai juga di pasang pagar yang tinggi agar masyarakat tidak bisa lagi membuang sampah di masyarakat, banyak yang membuang sampah di sungai hal tersebut tentunya juga akan menimbulkan dampak - dampak yang akan ditimbulkan terhadap pencemaran air sungai akibat dari limbah rumah tangga. membuang sampah yang dilakukan secara terus - menerus lama -kelamaan akan dapat menimbulkan dampak negatif bagi keseimbangan ekosistem yang berada di Sungai. Dampak yang akan terjadi ialah tentunya air sungai menjadi keruh akibat adanya limbah rumah tangga yang mengandung bahan organic maupun organic. Air yang mengandung kekeruhan tingkat tinggi akan mengalami kesulitan bila diproses untuk sumber air bersih dalam proses penyaringan. Selain itu, kekeruhan tingkat tinggi dapat menyebabkan sulit untuk didisinfeksi, yaitu proses pembunuhan terhadap kandungan mikroba yang tidak itu, dapat menimbulkan banjir, Kurangya akan kesadaran masyarakat dalam membuang sampah di sungai tentu saja akan menyebabkan bencana banjir. Hal tersebut di karenakan sampah yang menumpuk di bantaran sungai dan mengganggu aliran sungai yang lama kelamaan akan meluap di pemukiman. Terutama, pemukiman di sekitar area sungai. Lalu dampak yang terjadi juga akan menganggu kehidupan biota air Banyaknya zat pencemar pada air limbah akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam air tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat daerah setempat perlu menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan agar tidak ada lagi masyarakat yang membuang sampah di sungai. Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya Melihat Sungai di Kalbar di Saat Peringatan Hari Sungai Nasional Kalimantan Barat boleh berbangga memiliki Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Namun sayangnya, kondisi Kapuas semakin memprihatinkan. Sekitar 60 persen daerah aliran sungai watershed di Kalbar mengalami krisis akibat pembukaan dan pengembangan kawasan secara eksploitatif. Arief Nugroho, Pontianak SUNGAI yang membentang sepanjang km dari Kota Pontianak hingga Kabupaten Kapuas Hulu ini menjadikan Sungai Kapuas sebagai urat nadi sekaligus sungai terpanjang di Indonesia. Bagi masyarakat Kalbar, Sungai Kapuas memegang peranan penting dalam segala hal, di antaranya penyedia sumber air bersih, sarana transportasi, dan sumber pendapatan lainnya. Namun, DAS Kapuas kini telah mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut berasal dari berbagai aktivitas, seperti pertambangan emas tanpa izin PETI, pencemaran limbah mercuri maupun industri, penambangan pasir ilegal, penangkapan ikan dengan racun, illegal logging, dan sebagainya, sehingga berakibat pada baku mutu air Sungai Kapuas menurun. Berdasarkan hasil penelitian Universitas Tanjungpura, bersama sejumlah instansi dan Wahana Lingkungan Hidup Walhi Kalimantan Barat menunjukkan kandungan merkuri Hg mencapai 0,2-0,4 ppb parts per billion atau dua kali lipat dari ambang batas normal. Dari hasil penelitian tersebut, pencemaran yang terjadi di hulu Sungai Kapuas itu dipastikan akan berimbas juga di wilayah hilir. Penggunaan merkuri para penambang emas telah berdampak serius pada ikan dan manusia terutama yang berada di lokasi penambangan. Kandungan merkuri pada ikan-ikan di perairan Kapuas seperti ikan toman, lais, gabus, dan baung sudah terkontaminasi racun merkuri dengan konsentrat tinggi. Demikian pula dengan rambut dan kuku para penambang dan masyarakat di sekitarnya. Sementara jika merkuri tersebut telah merasuk ke tubuh manusia maka ia akan menjalar ke otak, ginjal, dan hati. Dampaknya, dapat menyebabkan tremor hingga stroke. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Bapedalda Kota Pontianak pernah melakukan uji coba alat pemantau baku mutu air tahun 2006 lalu. Sampel penelitian diambil di tepi Sungai Kapuas, tepatnya di depan Kantor Wali Kota Pontianak. Hasilnya, air Sungai Kapuas berada di bawah standar baku mutu air Berdasarkan pengukuran yang dilakukan tim Bapedalda dan supplier peralatan, kadar oksigen terlarut di Sungai Kapuas sebesar 4,98 miligram per liter, dengan pH 4, 68, kepadatan terlarut 24,6 miligram per liter, kecepatan 1,6 meter per det ik, tingkat kekeruhan air 22,1 KTU, saturasi 65,3 persen, kadar polutan terlarut 29,6 miligram per liter, salinitas 0,0 0/oo, dan daya hantar listrik atau konduktivitas sebesar 62,9 mikron per meter. Padahal, sekitar 70 persen masyarakat Kota Pontianak dan Kalbar masih menggunakan air Sungai Kapuas sebagai air konsumsi sehari-hari, baik melalui proses penyaringan PDAM maupun tidak. Koordinator Divisi Kajian, Dokumentasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Walhi Kalimantan Barat Hendrikus Adam pernah merilis jumlah kerusakan sungai di Kalimantan Barat. Setidaknya ada 27 sungai di Kalbar yang memiliki DAS 14,86 juta hektare. Sekitar 1,34 juta hektare dalam kondisi sangat kritis. Sedangkan sisanya kritis dan berpotensi kritis. Satu di antaranya adalah sungai di sekitar Dusun Bonglitung, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang. Sejak puluhan tahun lalu, kata Adam, air di sungai tersebut keruh dan tidak bisa digunakan lagi akibat penambangan emas tanpa izin. Sementara di lokasi lain akibat air semakin krisis sulit dikonsumsi, warga Kampung Nabo, Kabupaten Landak sejak 2013 hingga kini, kesulitan memperoleh air bersih dari Sungai Kayat. “Sungai itu tercemar karena kawasan penyangga sekitarnya rusak akibat aktivitas perusahaan perkebunan,” terangnya. Adam juga membeberkan warga sekitar pesisir sungai yang beberapa di antaranya tercemar limbah pabrik, merkuri dan pertambangan, mengalami kesulitan memperoleh air bersih. Warga tidak dapat menggunakan untuk minum dan memasak. Menurut Adam, selain menjadi sumber air untuk kebutuhan masyarakat, daerah aliran sungai DAS yang baik dan sehat harusnya menjadi wilayah tangkapan air sekaligus penyangga bagi wilayah sekitarnya sehingga terhindar dari risiko bencana ekologis. Namun demikian, lanjut Adam, bila melihat bencana ekologis terkait dengan hidrologis yang ditandai dengan banjir dan longsor yang terjadi selama ini, maka situasi ini adalah indikasi serius yang menandai kondisi daerah aliran sungai di daerah kita sedang kritis. “Gambaran sederhana ini bisa kita lihat sebagai jawaban bagaimana krisis ekologi yang terus terjadi saat ini. Terjadi degradasi dan deforestasi yang berdampak pada daya tampung dan daya dukung linkungan sekitarnya terganggu,” katanya. Pendangkalan dan longsor sekitar bantaran sungai kian menjadi ketika praktik eksploitatif atas sumberdaya hutan dan lahan melalui penambangan maupun bentuk usaha berbasis hutan/lahan massif yang disusul dengan kondisi kualitas air sekitar terus menurun. Untuk menekan risiko bencana banjir dan longsor, kata Adam, diperlukan sinergis lintas sektor dan  langkah strategis antar pemerintah daerah. Program dan kebijakan pemulihan jangka panjang dibarengi dengan penghentian tindakan eksploitatif, pemberdayaan, penegakan hukum dan edukasi melibatkan peran serta masyarakat sekitar secara terus menerus diperlukan. Sementara itu, Kota Pontianak menjadi kota yang terkenal dengan sebutan kota seribu parit. Begitu pentingnya parit, sehingga parit dijaga kebersihannya dan dibuat berfungsi sebagaimana layaknya sebuah tempat untuk menjaga kota Pontianak dan memperindah kota Pontianak. Parit yang mengelilingi kota Pontianak pada zaman pendudukan Belanda, antara lain Parit Besar, Parit Nenas, Parit Durhaka, Parit Bansir, Parit Sungai Jawi, Parit Gado, Parit Diponegoro, Parit Gajahmada, Parit Tokaya, Parit Merdeka sampai Merdeka Timur, Parit Penjara, Parit Kongsi, Parit Sungai Raya, parit Mayor, Parit Haji Husein, Parit Tengkorak dan Parit Tengkorak. Seiring berjalannya waktu, parit-parit tinggal sedikit dan mengalami banyak perubahan. Arus urbanisasi yang terjadi membuat kota Pontianak mendapat dampak yang sangat besar, antara lain penambahan penduduk yang menyebabkan jumlah perumahan meningkat, parit mulai ditutup dan diperkecil, tercemarnya parit-parit karena industri kecil yang banyak membuang limbah ke parit hingga sampah di parit yang tidak terangkut. Pemerintah kota Pontianak mulai menyadari arti penting parit, sehingga mulai tahun 2019, Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono merencanakan dan mencanangkan kembali pembersihan dan perubahan fungsi parit agar dikembalikan sebagaimana arf Melihat Sungai di Kalbar di Saat Peringatan Hari Sungai Nasional Kalimantan Barat boleh berbangga memiliki Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Namun sayangnya, kondisi Kapuas semakin memprihatinkan. Sekitar 60 persen daerah aliran sungai watershed di Kalbar mengalami krisis akibat pembukaan dan pengembangan kawasan secara eksploitatif. Arief Nugroho, Pontianak SUNGAI yang membentang sepanjang km dari Kota Pontianak hingga Kabupaten Kapuas Hulu ini menjadikan Sungai Kapuas sebagai urat nadi sekaligus sungai terpanjang di Indonesia. Bagi masyarakat Kalbar, Sungai Kapuas memegang peranan penting dalam segala hal, di antaranya penyedia sumber air bersih, sarana transportasi, dan sumber pendapatan lainnya. Namun, DAS Kapuas kini telah mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut berasal dari berbagai aktivitas, seperti pertambangan emas tanpa izin PETI, pencemaran limbah mercuri maupun industri, penambangan pasir ilegal, penangkapan ikan dengan racun, illegal logging, dan sebagainya, sehingga berakibat pada baku mutu air Sungai Kapuas menurun. Berdasarkan hasil penelitian Universitas Tanjungpura, bersama sejumlah instansi dan Wahana Lingkungan Hidup Walhi Kalimantan Barat menunjukkan kandungan merkuri Hg mencapai 0,2-0,4 ppb parts per billion atau dua kali lipat dari ambang batas normal. Dari hasil penelitian tersebut, pencemaran yang terjadi di hulu Sungai Kapuas itu dipastikan akan berimbas juga di wilayah hilir. Penggunaan merkuri para penambang emas telah berdampak serius pada ikan dan manusia terutama yang berada di lokasi penambangan. Kandungan merkuri pada ikan-ikan di perairan Kapuas seperti ikan toman, lais, gabus, dan baung sudah terkontaminasi racun merkuri dengan konsentrat tinggi. Demikian pula dengan rambut dan kuku para penambang dan masyarakat di sekitarnya. Sementara jika merkuri tersebut telah merasuk ke tubuh manusia maka ia akan menjalar ke otak, ginjal, dan hati. Dampaknya, dapat menyebabkan tremor hingga stroke. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Bapedalda Kota Pontianak pernah melakukan uji coba alat pemantau baku mutu air tahun 2006 lalu. Sampel penelitian diambil di tepi Sungai Kapuas, tepatnya di depan Kantor Wali Kota Pontianak. Hasilnya, air Sungai Kapuas berada di bawah standar baku mutu air Berdasarkan pengukuran yang dilakukan tim Bapedalda dan supplier peralatan, kadar oksigen terlarut di Sungai Kapuas sebesar 4,98 miligram per liter, dengan pH 4, 68, kepadatan terlarut 24,6 miligram per liter, kecepatan 1,6 meter per det ik, tingkat kekeruhan air 22,1 KTU, saturasi 65,3 persen, kadar polutan terlarut 29,6 miligram per liter, salinitas 0,0 0/oo, dan daya hantar listrik atau konduktivitas sebesar 62,9 mikron per meter. Padahal, sekitar 70 persen masyarakat Kota Pontianak dan Kalbar masih menggunakan air Sungai Kapuas sebagai air konsumsi sehari-hari, baik melalui proses penyaringan PDAM maupun tidak. Koordinator Divisi Kajian, Dokumentasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Walhi Kalimantan Barat Hendrikus Adam pernah merilis jumlah kerusakan sungai di Kalimantan Barat. Setidaknya ada 27 sungai di Kalbar yang memiliki DAS 14,86 juta hektare. Sekitar 1,34 juta hektare dalam kondisi sangat kritis. Sedangkan sisanya kritis dan berpotensi kritis. Satu di antaranya adalah sungai di sekitar Dusun Bonglitung, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang. Sejak puluhan tahun lalu, kata Adam, air di sungai tersebut keruh dan tidak bisa digunakan lagi akibat penambangan emas tanpa izin. Sementara di lokasi lain akibat air semakin krisis sulit dikonsumsi, warga Kampung Nabo, Kabupaten Landak sejak 2013 hingga kini, kesulitan memperoleh air bersih dari Sungai Kayat. “Sungai itu tercemar karena kawasan penyangga sekitarnya rusak akibat aktivitas perusahaan perkebunan,” terangnya. Adam juga membeberkan warga sekitar pesisir sungai yang beberapa di antaranya tercemar limbah pabrik, merkuri dan pertambangan, mengalami kesulitan memperoleh air bersih. Warga tidak dapat menggunakan untuk minum dan memasak. Menurut Adam, selain menjadi sumber air untuk kebutuhan masyarakat, daerah aliran sungai DAS yang baik dan sehat harusnya menjadi wilayah tangkapan air sekaligus penyangga bagi wilayah sekitarnya sehingga terhindar dari risiko bencana ekologis. Namun demikian, lanjut Adam, bila melihat bencana ekologis terkait dengan hidrologis yang ditandai dengan banjir dan longsor yang terjadi selama ini, maka situasi ini adalah indikasi serius yang menandai kondisi daerah aliran sungai di daerah kita sedang kritis. “Gambaran sederhana ini bisa kita lihat sebagai jawaban bagaimana krisis ekologi yang terus terjadi saat ini. Terjadi degradasi dan deforestasi yang berdampak pada daya tampung dan daya dukung linkungan sekitarnya terganggu,” katanya. Pendangkalan dan longsor sekitar bantaran sungai kian menjadi ketika praktik eksploitatif atas sumberdaya hutan dan lahan melalui penambangan maupun bentuk usaha berbasis hutan/lahan massif yang disusul dengan kondisi kualitas air sekitar terus menurun. Untuk menekan risiko bencana banjir dan longsor, kata Adam, diperlukan sinergis lintas sektor dan  langkah strategis antar pemerintah daerah. Program dan kebijakan pemulihan jangka panjang dibarengi dengan penghentian tindakan eksploitatif, pemberdayaan, penegakan hukum dan edukasi melibatkan peran serta masyarakat sekitar secara terus menerus diperlukan. Sementara itu, Kota Pontianak menjadi kota yang terkenal dengan sebutan kota seribu parit. Begitu pentingnya parit, sehingga parit dijaga kebersihannya dan dibuat berfungsi sebagaimana layaknya sebuah tempat untuk menjaga kota Pontianak dan memperindah kota Pontianak. Parit yang mengelilingi kota Pontianak pada zaman pendudukan Belanda, antara lain Parit Besar, Parit Nenas, Parit Durhaka, Parit Bansir, Parit Sungai Jawi, Parit Gado, Parit Diponegoro, Parit Gajahmada, Parit Tokaya, Parit Merdeka sampai Merdeka Timur, Parit Penjara, Parit Kongsi, Parit Sungai Raya, parit Mayor, Parit Haji Husein, Parit Tengkorak dan Parit Tengkorak. Seiring berjalannya waktu, parit-parit tinggal sedikit dan mengalami banyak perubahan. Arus urbanisasi yang terjadi membuat kota Pontianak mendapat dampak yang sangat besar, antara lain penambahan penduduk yang menyebabkan jumlah perumahan meningkat, parit mulai ditutup dan diperkecil, tercemarnya parit-parit karena industri kecil yang banyak membuang limbah ke parit hingga sampah di parit yang tidak terangkut. Pemerintah kota Pontianak mulai menyadari arti penting parit, sehingga mulai tahun 2019, Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono merencanakan dan mencanangkan kembali pembersihan dan perubahan fungsi parit agar dikembalikan sebagaimana arf

pada sungai yang belum mengalami pencemaran